Tuberkolusis dalam pandangan Psikologi


I.                   Pendahuluan
Tuberkolusis kini kian lama makin meningkat, Tuberkulosis Paru (TB Paru) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) telah diterapkan di banyak negara sejak tahun 1995. pada bulan Maret sekitar 1,3 abad yang lalu tepatnya tanggal 2 Maret 1882 merupakan hari saat Robert Koch mengemukakan bahwa dia telah menemukan bakteri penyebab tuberculosis (TBC) yang kemudian membuka jalan menuju diagnosis dan penyembuhan penyakit ini. Meskipun jumlah kematian akibat tuberkulosis menurun 22% antara tahun 2000 dan 2015, namun tuberkulosis masih menepati peringkat ke-10 penyebab kematian tertinggi di dunia pada tahun 2016 berdasarkan laporan WHO (2017) Oleh sebab itu hingga saat ini TBC masih menjadi prioritas utama di dunia dan menjadi salah satu tujuan dalam SDGs (Sustainability Development Goals). Angka prevalensi TBC Indonesia pada tahun 2014 sebesar 297 per 100.000 penduduk. Eliminasi TBC juga menjadi salah satu dari 3 fokus utama pemerintah di bidang kesehatan selain penurunan stunting dan peningkatan cakupan dan mutu imunisasi. Visi yang dibangun terkait penyakit ini yaitu dunia bebas dari tuberkulosis, nol kematian, penyakit, dan penderitaan yang disebabkan oleh TBC. Tema Hari TBC Sedunia tahun 2018 yaitu “Wanted: Leader for a TB Free World” yang bertujuan pada pembangunan komitmen dalam mengakhiri TBC, tidak hanya pada kepala negara dan menteri tetapi juga di semua level baik bupati, gubernur, parlemen, pemimpin suatu komunitas, jajaran kesehatan, NGO, dan partner lainnya. Setiap orang dapat menjadi pemimpin dalam upaya mengakhiri TBC baik di tempat kerja maupun di wilayah tempat tinggal masing-masing. Walaupun setiap orang dapat mengidap TBC, penyakit tersebut berkembang pesat pada orang yang hidup dalam kemiskinan, kelompok terpinggirkan, dan populasi rentan lainnya. Kepadatan penduduk di Indonesia sebesar 136,9 per 2 km dengan jumlah penduduk miskin pada September 2017 sebesar 10,12% (Susenas, 2017). Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok. Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014, prevalensi TBC dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas dan prevalensi TBC BTA positif sebesar 257 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas. Berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin bertambah usia, prevalensinya semakin tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi TBC dan durasi paparan TBC lebih lama dibandingkan kelompok umur di bawahnya. Sebaliknya, semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan (yang menggambarkan kemampuan sosial ekonomi) semakin rendah prevalensi TBC. Gambaran kesakitan menurut pendidikan menunjukkan, prevalensi semakin rendah seiring dengan tingginya tingkat pendidikan. Kesakitan TBC menurut kuintil indeks kepemilikian menunjukkan tidak ada perbedaan antara kelompok terbawah sampai dengan menengah atas. Perbedaan hanya terjadi pada kelompok teratas. Hal ini berarti risiko TBC dapat terjadi pada hampir semua tingkatan sosial ekonomi.

II.                Definisi Tuberkolusis
Menurut Darmanto (2014) Tuberkolusis adalah penyakit radang pareknim paru karena infeksi kuman Mycobacterium tuberculosa. Tuberkolusis paru termasuk suatu pneumonia, yaitu pneumonia yang disebabkan oleh M. tuberculosa.
III.             Penyebab Tuberkolusis
Tuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosa. Ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882. Hasil penemuan ini diumumkan di Berlin pada tanggal 24 Maret 1882 dan tanggal 24 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai hari Tuberkulosis.
Karakteristik kuman Mycobacterium Tuberculosa adalah mempunyai ukuran 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga disebut basil tahan asam (BTA), tahan terhadap zat kimia dan fisik, serta tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman (dapat tertidur lama) dan aerob.
Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100ºC selama 5-10 menit atau pada pemanasan 60ºC selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara, di tempat yang lembab dan gelap bisa berbulan-bulan namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran udara. Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara per jam (Widoyono, 2008).

IV.             Gejala-gejala Tuberkulosis
Gejala klinis pasien Tuberkulosis Paru menurut Depkes RI (2008), adalah :
- Batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
- Dahak bercampur darah.
- Batuk berdarah.
- Sesak napas.
- Badan lemas.
- Nafsu makan menurun.
- Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik.
- Demam meriang lebih dari satu bulan.
Dengan strategi yang baru (DOTS, directly observed treatment shortcourse) gejala utamanya adalah batuk berdahak dan/atau terus-menerus selama tiga minggu atau lebih. Berdasarkan keluhan tersebut, seseorang sudah dapat ditetapkan sebagai tersangka. Gejala lainnya adalah gejala tambahan. Dahak penderita harus diperiksa dengan pemeriksaan mikroskopis.(Widoyono, 2008).

V.                Tuberkolusis dalam pandangan psikologi
Menurut Ginting (2008) Penderita tuberkulosis menganggap penyakit ini adalah penyakit yang memalukan, isolasi sosial, karena dicap sebagai transmitter penyakit. Persepsi terhadap sakit ditunjukkan dengan perubahan perilaku, seperti : marah-marah, menarik diri, kegiatan sehari – hari dirumah, dan membatasi diri. Selain itu penderita merasa ketakutan akan isolasi dan perlakuan negatif dari masyarakat bila mengetahui dirinya menderita TBC (Ginting, 2008).
Dukungan sosial yang utama berasal dari dukungan keluarga, karena dukungan keluarga memegang peranan penting dalam kehidupan penderita tuberkulosis berjuang untuk sembuh, berpikir ke depan, dan menjadikan hidupnya lebih bermakna (Melisa, 2012). Akibat kurang mendapatkan dukungan sosial dari keluarga dan lingkungan sekitar menimbulkan gangguan psikologis pada penderita tuberkulosis meliputi : depresi, gangguan penyesuaian, ansietas, hilangnya tujuan hidup, melemahnya produktifitas, fobia dan lainnya (Ginting, 2008).

VI.             Solusi
Pemberantasan Tuberkulosis secara efektif diuraikan sebagai berikut :
1. Melenyapkan sumber infeksi, dengan:
a. Penemuan penderita sedini mungkin.
b. Isolasi penderita sedemikian rupa selama masih dapat menularkan.
C. Segara diobati.
2. Memutuskan mata rantai penularan.
3. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang penyakit Tuberkulosis paru.
Untuk memberantas penyakit Tuberkulosis paru kita harus mampu mempengaruhi unsur-unsur seperti manusia, perilaku dan lingkungan serta memperhitungkan interaksi dari ketiga unsur tersebut.
Menurut Rajagukguk (2008), yang mengutip penelitian Entjang keberhasilan usaha pemberantasan Tuberkulosis paru juga tergantung pada:
a. Keadaan sosial ekonomi rakyat. Makin buruk keadaan sosial ekonomi masyarakat, sehingga nilai gizi dan sanitasi lingkungan jelek, yang mengakibatkan rendahnya daya tahan tubuh mereka sehingga mudah menjadi sakit bila tertular Tuberkulosis.
b. Kesadaran berobat si penderita Kadang-kadang walaupun penyakitnya agak berat si penderita tidak merasa sakit, sehingga tidak mau mencari pengobatan.
c. Pengetahuan penderita, keluarga dan masyarakat pada umumnya tentang penyakit Tuberkulosis.
Makin rendah pengetahuan penderita tentang bahaya penyakit Tuberkulosis untuk dirinya, keluarga dan masyarakat sekitarnya makin besar pula bahaya si penderita sebagai sumber penularan penyakit, baik dirumah maupun tempat pekerjaannya untuk keluarga dan orang disekitarnya.

VII.           Daftar Pustaka
Abdurrahman Ginting. 2008. Esensi Praktis Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Humaniora.
Badan Pusat Statistik, 2017. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2017, Jakarta.
Darmanto, D. (2014). Repirology. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
Departemen Kesehatan RI. 2008. Profil kesehatan Indonesia 2007. Jakarta : Depkes RI Jakarta.
Melisa. (2012). Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup pada Pasien Tuberkulosis Paru di Poli Paru BLU RSUP PROF.DR.R.D Kandou Manado. Ejournal Keperawatan (E-KP) Volume 1 No 1.
Rajagukguk, Fitriani, 2008. Gambaran Perilaku Dan Sanitasi Perumahan Penderita Tuberkulosis Paru Di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir Tahun 2007. Skripsi Mahasiswa FKM USU, Medan.
Widoyono. 2008.Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya.Jakarta : Erlangga.
WHO, 2017. Global Tuberculosis Report 2017, Jenewa.

Komentar

Posting Komentar